Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pemberlakuan tarif sebesar 50% pada impor tembaga. Pengumuman ini memicu reaksi beragam di kalangan analis, pelaku pasar, dan netizen, dengan beberapa pihak mempertanyakan dampak ekonomi dan motif di balik kebijakan tersebut.
Tarif baru ini diyakini akan mulai berlaku dalam waktu dekat, mendorong percepatan pengiriman tembaga ke Amerika Serikat sebelum batas waktu efektif, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters pada 9 Juli 2025. Analis dari J.P. Morgan mencatat bahwa impor tembaga AS dalam enam bulan terakhir telah mencapai hampir satu tahun kebutuhan, dan tarif ini kemungkinan akan mengurangi impor dalam beberapa bulan ke depan seiring penggunaan stok yang ada.
Kebijakan ini muncul setelah investigasi yang diprakarsai oleh perintah eksekutif Trump pada Februari 2025, yang menilai ketergantungan AS pada impor tembaga dari negara seperti Kanada, Chili, dan Meksiko sebagai ancaman keamanan nasional, sebagaimana diuraikan dalam laporan Global Supply Chain Law Blog. China, yang mengendalikan sekitar 50% kapasitas peleburan dan pemurnian tembaga global, juga disebut-sebut sebagai faktor dalam keputusan ini, meskipun AS tidak mengimpor tembaga dalam jumlah besar dari negara tersebut.
Harga tembaga di London Metal Exchange dan Shanghai Futures Exchange dilaporkan turun lebih dari 1% setelah pengumuman tersebut, menandakan kekhawatiran pasar akan penurunan permintaan impor AS. Produsen Chili diperkirakan akan mengalihkan stok tembaga yang memenuhi standar Comex ke AS, sementara stok lainnya dialihkan ke China, menurut sumber perdagangan yang dikutip Reuters.
Kebijakan tarif ini merupakan bagian dari serangkaian langkah proteksionis Trump selama masa kepresidenan keduanya, di mana tarif rata-rata AS melonjak dari 2,5% menjadi 27% antara Januari hingga April 2025, sebelum turun menjadi 15,8% pada Juni 2025, menurut Wikipedia. Tarif tembaga ini juga sejalan dengan peningkatan tarif baja dan aluminium menjadi 50%, yang sebelumnya telah memicu protes dari berbagai negara.
Pro dan Kontra
Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa tarif tersebut akan mendorong produksi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor, sementara pihak yang kontra menilai langkah ini sebagai keputusan impulsif yang dapat memicu perang dagang. Organisasi seperti WTO diperkirakan akan menghadapi tekanan untuk menangani keluhan dari negara-negara yang terdampak.