

.png)
.png)

Pemerintahan Presiden Nicolás Maduro di Venezuela semakin mengandalkan aset kripto untuk menopang perekonomian yang kembali tertekan akibat pengetatan sanksi Amerika Serikat dan anjloknya nilai mata uang bolívar. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa langkah tersebut hanya memberi ruang napas sementara sebelum negara itu menghadapi krisis baru pada 2026.
Sejak kemenangan kembali Donald Trump dalam pemilu AS, Washington memperketat sanksi ekonomi terhadap Venezuela, termasuk menetapkan pemerintahan Maduro sebagai kartel narkoba dan membatasi operasi perusahaan minyak asing seperti Chevron. Akibatnya, inflasi kembali melonjak ke tiga digit, nilai bolívar terjun bebas, dan pemadaman listrik makin parah. Dana dolar dari ekspor minyak yang sebelumnya mengalir lewat perbankan kini berkurang drastis.
Untuk mengimbangi kekurangan likuiditas, Caracas beralih ke pembayaran minyak dengan kripto, terutama stablecoin seperti USDT (Tether). Pemerintah Venezuela menjual sebagian besar minyaknya ke Tiongkok dan menerima pembayaran dalam bentuk kripto yang kemudian disalurkan melalui dua bursa resmi di dalam negeri. Kini, hingga 50% pasokan valuta asing yang masuk ke ekonomi Venezuela berasal dari dolar dalam bentuk token digital.
Langkah ini menjadikan Venezuela sebagai salah satu negara pertama di dunia yang mengelola sebagian besar keuangan publik melalui aset kripto. Bahkan, PDVSA, perusahaan minyak nasional, dilaporkan membayar kontraktor dengan stablecoin, sementara sektor swasta mulai membayar bonus dan transaksi menggunakan aset digital melalui Binance.
Namun, transisi ini juga meningkatkan risiko korupsi dan ketidaktransparanan. Pemerintah dituding memanipulasi nilai tukar resmi dan pasar gelap untuk mendapatkan keuntungan, sementara inflasi terus naik akibat arus uang digital yang tak terkendali. Selisih antara nilai resmi dan pasar gelap bolívar kini mencapai 50%, memicu kekhawatiran akan kembalinya hiperinflasi.
Para analis memperingatkan bahwa meski penggunaan kripto membuat pemerintahan Maduro lebih tangguh terhadap tekanan eksternal, kebijakan tersebut tidak menyelesaikan masalah fundamental. Ekonom Francisco Rodríguez dari University of Denver mengatakan, “Jika ada negara yang membuktikan bahwa kehancuran ekonomi tidak menggulingkan pemerintah, itu adalah Venezuela.”
Sementara itu, Tether menolak berkomentar mengenai peran tokennya dalam sistem Venezuela, meski sebelumnya perusahaan tersebut mengklaim bekerja sama dengan aparat hukum internasional untuk mencegah pencucian uang. Di sisi lain, Binance — bursa kripto terbesar yang digunakan di Venezuela — masih diawasi ketat oleh otoritas AS, meski pendirinya Changpeng Zhao baru saja menerima pengampunan dari Presiden Trump setelah kasus pelanggaran pencucian uang pada 2023.