

.png)
.png)

Persaingan antara perusahaan kripto dan industri perbankan Amerika Serikat kini memasuki babak baru — bukan lagi sekadar soal bunga, tapi soal “hadiah” bagi pengguna stablecoin. Meskipun undang-undang Genius Act di AS melarang stablecoin membayar imbal hasil seperti deposito, celah regulasi baru memunculkan pertanyaan: apakah pemberian insentif seperti cashback atau hadiah fisik tetap diperbolehkan?
Perdebatan ini kian panas setelah American Bankers Association (ABA) mendesak Senat AS untuk menutup celah hukum yang memungkinkan distributor pihak ketiga seperti Coinbase atau Kraken menawarkan hadiah bagi pengguna stablecoin. Bank khawatir bahwa insentif tersebut akan menarik dana masyarakat keluar dari tabungan bank, melemahkan fungsi dasar perbankan dalam menciptakan kredit dan mendukung ekonomi riil.
“Ketika dana berpindah ke stablecoin demi imbal hasil, kemampuan bank menciptakan pinjaman juga berkurang,” tulis ABA dalam surat resminya. Sebaliknya, Coinbase meluncurkan situs kampanye untuk membela “hak pengguna menerima hadiah stablecoin,” menuding bank konvensional sebagai pihak yang ingin menghalangi inovasi dan mempertahankan sistem lama yang penuh biaya tinggi dan keterlambatan transaksi.
Di balik perdebatan soal “hadiah gratis” ini tersembunyi taruhannya yang jauh lebih besar. Jika regulator AS mengizinkan imbal hasil terselubung lewat program loyalitas atau cashback, dampaknya bisa meluas secara global — memicu kekhawatiran negara lain akan hilangnya kendali fiskal.
Konsep ini berkaitan dengan “seigniorage”, yakni keuntungan yang diperoleh pemerintah dari hak mencetak uang. Bila masyarakat di luar AS mulai menyimpan kekayaan dalam bentuk stablecoin berbasis dolar, maka negara-negara seperti China, Jerman, atau Argentina berpotensi kehilangan sebagian pendapatan negara dari sirkulasi mata uang domestik. Ekonom Hélène Rey dari London Business School menyebut fenomena ini sebagai “privatisasi seigniorage,” yang bisa menggerus kekuatan fiskal negara-negara non-AS.
Bagi Washington, situasinya justru menguntungkan. Setiap stablecoin berbasis dolar harus dijamin oleh obligasi pemerintah AS (US Treasury bills), menciptakan permintaan permanen terhadap surat utang AS meskipun kepercayaan terhadap dolar sedang goyah. Dengan kata lain, semakin banyak stablecoin beredar di dunia, semakin murah pula biaya pinjaman pemerintah AS.
Namun di Beijing, dampaknya bisa menjadi sebaliknya. Setelah laporan bahwa perusahaan besar seperti JD.com dan Ant Group membatalkan rencana peluncuran stablecoin di Hong Kong karena tekanan otoritas, China tampak semakin berhati-hati. Pemerintah kini menilai lebih baik memperkuat proyek mata uang digital resmi (e-CNY) ketimbang bersaing dengan stablecoin dolar yang dikelola swasta.
Langkah ini menunjukkan bahwa perang mata uang digital global mulai bergerak dari ideologi ke strategi. Bila AS mendorong stablecoin berbasis pasar bebas dengan insentif menarik, maka China tampaknya memilih jalur kendali penuh melalui CBDC (Central Bank Digital Currency) miliknya sendiri.
Pada akhirnya, perdebatan soal “toaster gratis” bukan sekadar masalah hadiah promosi — tapi pertarungan antara sistem keuangan terpusat dan dunia baru uang digital yang melintasi batas negara.