Pemimpin Thailand dan Kamboja menyepakati penghentian konflik perbatasan paling mematikan dalam lebih dari satu dekade, menyusul tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan negara-negara kawasan.
Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet bertemu di Malaysia dalam pembicaraan yang difasilitasi oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Ketua ASEAN. Anwar menyatakan bahwa kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata mulai tengah malam.
Kesepakatan ini dicapai setelah bentrokan yang dimulai pada 24 Juli menewaskan sedikitnya 36 orang dan menyebabkan lebih dari 150.000 warga sipil mengungsi. Konflik tersebut memanas dengan penggunaan artileri berat dan serangan udara, di mana masing-masing pihak menuduh lawannya menyerang area sipil.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang dengan Thailand dan Kamboja jika pertempuran tidak dihentikan. "Kami tidak akan membuat kesepakatan dagang kecuali kalian menyelesaikan perang ini," ujar Trump setelah berbicara langsung dengan kedua pemimpin.
Thailand menuntut agar gencatan senjata mencakup penarikan pasukan, penghentian kekerasan bersenjata, dan mekanisme penyelesaian konflik bilateral. Sementara Kamboja mendukung penghentian tanpa syarat.
Konflik ini berakar pada perselisihan batas wilayah yang belum tuntas sejak era kolonial. Ketegangan sempat mereda pasca-bentrokan 2011, namun memanas kembali tahun ini, memicu kekhawatiran akan perang berskala penuh.
Trump memanfaatkan tekanan tarif sebagai alat diplomasi, menjelang tenggat 1 Agustus terkait pengenaan tarif 36% terhadap ekspor Thailand. Analis menyebut strategi Trump efektif mengingat kedua negara tengah menghadapi tekanan ekonomi besar.
Namun, sebagian pengamat memperingatkan bahwa militer Thailand dan publik domestik belum tentu menerima kesepakatan gencatan senjata selama Kamboja masih berupaya membawa sengketa ke Mahkamah Internasional, yang tidak diakui Thailand.