

.png)
.png)

Bank Indonesia (BI) memandang peredaran kripto dan stablecoin swasta yang tidak teregulasi menjadi salah satu dari lima risiko utama yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi global pada 2026–2027. Pernyataan ini sekaligus menegaskan posisi BI yang lebih mendukung penerapan mata uang digital bank sentral atau Rupiah Digital dibandingkan stablecoin swasta.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa stablecoin yang diterbitkan entitas swasta belum memiliki kerangka regulasi maupun pengawasan yang jelas. Karena itu BI menilai bahwa perlunya adopsi CBDC atau Rupiah Digital sebagai instrumen pembayaran yang legal, stabil, dan di bawah pengawasan penuh otoritas moneter.
BI berargumen bahwa dengan CBDC, negara dapat menjaga stabilitas moneter, memastikan transparansi transaksi, dan mengurangi risiko eksternal yang muncul dari peredaran aset digital swasta. Selain itu, BI juga tengah mengembangkan prototipe Rupiah Digital yang akan menjadi alternatif resmi di tengah berkembangnya kripto dan stablecoin global.