Meta, perusahaan teknologi di balik platform media sosial seperti Facebook dan Instagram, tengah mempercepat ambisinya di bidang kecerdasan buatan (AI) dengan membentuk laboratorium baru yang berfokus pada pengembangan superintelijen. Langkah ini didukung oleh tawaran gaji mencapai $100 juta per tahun untuk peneliti AI teratas, sebagaimana dilaporkan oleh Wired. Pembentukan lab ini menandai komitmen jangka panjang Meta untuk memimpin inovasi AI global, meskipun memicu perdebatan tentang biaya dan etika perekrutan talenta.
Menurut laporan resmi dari situs Meta AI, perusahaan telah menginvestasikan lebih dari satu dekade dalam penelitian AI, dimulai dengan pendirian laboratorium pertama pada 2013 oleh CEO Mark Zuckerberg. Laboratorium baru ini, yang diumumkan pada Juni 2025 melalui The New York Times, bertujuan mengembangkan superintelijen—teknologi AI yang melampaui kecerdasan umum buatan (AGI) dalam kemampuannya. Sebanyak tujuh peneliti dari OpenAI, termasuk spesialis terkemuka, dilaporkan direkrut untuk mendukung inisiatif ini, dengan tawaran kompensasi total hingga $300 juta selama empat tahun, termasuk akses ke chip mutakhir.
Meta mengintegrasikan pendekatan “open source” dalam strategi AI-nya, seperti peluncuran model Llama dan chatbot Meta AI, yang dirancang untuk diadopsi secara luas oleh pengembang global. Dalam wawancara dengan The New York Times pada 10 Juni 2025, Zuckerberg menegaskan bahwa laboratorium baru ini akan memanfaatkan infrastruktur komputasi canggih untuk mempercepat penelitian, dengan fokus pada aplikasi superintelijen dalam realitas virtual (VR), augmented reality (AR), dan metaverse—visi utama Meta.
Perusahaan ini juga mengumumkan kemitraan dengan penyedia chip seperti NVIDIA untuk mendukung kebutuhan komputasi tinggi, sebagaimana tercatat dalam laporan tahunan Meta kepada SEC pada 2024. Investasi ini diperkirakan mencapai miliaran dolar, mencerminkan keyakinan Meta bahwa AI akan menjadi tulang punggung transformasi digital di dekade mendatang.
Meskipun ambisius, pembentukan lab ini tidak luput dari kritik. OpenAI, melalui Chief Research Officer Mark Chen, menyebut perekrutan agresif Meta sebagai “pencurian talenta,” menurut sumber internal yang dikutip Wired. Di sisi lain, juru bicara Meta, Andy Stone, membantah bahwa angka $100 juta per tahun adalah gaji dasar, melainkan bagian dari paket kompensasi total untuk peran kepemimpinan tertentu, termasuk saham dan tunjangan teknologi.
Analis dari Gartner, dalam laporan kuartal kedua 2025, memprediksi bahwa investasi AI global akan mencapai $500 miliar pada 2026, dengan perusahaan teknologi besar seperti Meta, Google, dan OpenAI memimpin perlombaan. Laboratorium superintelijen Meta diyakini dapat mempercepat pengembangan aplikasi AI dalam metaverse, yang diperkirakan berkontribusi 5% terhadap PDB global menurut laporan McKinsey pada 2024.
Namun, etika penggunaan superintelijen tetap menjadi perhatian. Organisasi seperti Partnership on AI, yang melibatkan Meta sebagai anggota, menyerukan kerangka regulasi untuk mencegah penyalahgunaan teknologi tersebut. Zuckerberg sendiri berjanji bahwa laboratorium ini akan mengutamakan transparansi, dengan hasil penelitian sebagian besar dibagikan sebagai open source.
Hingga kini, Meta terus memperluas timnya, dengan rencana merekrut lebih banyak ahli dari akademisi dan industri. Langkah ini dipantau ketat oleh investor dan regulator, mengingat potensi dampaknya pada saham Meta dan lanskap teknologi global.