Ekonomi China mengalami perlambatan terdalam tahun ini pada Juli, memicu ekspektasi bahwa Beijing akan menggulirkan stimulus besar untuk meredam dampak perang dagang yang dipicu Presiden AS Donald Trump.
Data terbaru menunjukkan investasi aset tetap anjlok 5,3% dibandingkan tahun lalu, terburuk sejak pandemi Covid-19 awal 2020, dengan pertumbuhan aktivitas industri melambat ke level terendah dalam delapan bulan. Pelemahan belanja infrastruktur dan konsumsi, serta kampanye menekan kapasitas berlebih, menjadi pemicu utama perlambatan ini.
“Permintaan domestik lesu, tapi jangan remehkan persiapan China untuk perang dagang jangka panjang,” ujar Duncan Wrigley, Kepala Ekonom China di Pantheon Economics. “Mereka menahan stimulus besar untuk digunakan jika ekspor benar-benar melambat.”
Meskipun ekonomi masih tumbuh sekitar 5% secara tahunan di Juli menurut estimasi Goldman Sachs, tanda-tanda pelemahan semakin nyata. Penjualan ritel tumbuh paling lambat sejak Desember, pasar properti kembali tertekan, dan investasi sektor swasta mengalami kontraksi terdalam sejak September 2020.
Bloomberg Economics memproyeksikan Bank Rakyat China akan melonggarkan kebijakan moneter secepatnya pada September, sementara Nomura memperkirakan Beijing akan mempercepat peluncuran paket dukungan tambahan di paruh kedua tahun ini.
Perlambatan ini memberi tekanan tambahan pada pemerintah Xi Jinping, yang berhadapan dengan tarif AS lebih dari 50% serta penurunan ekspor ke Amerika Serikat. Meski ekspor sempat menjadi penopang utama di awal tahun, laju pertumbuhan bulanan pada Juli melemah menjadi 0,2% dari 0,4% di bulan sebelumnya.
Sejumlah analis memperingatkan, efek “booming” ekspor akibat front-loading untuk menghindari tarif, serta berkurangnya subsidi konsumen, akan membuat pertumbuhan semakin melambat di paruh akhir 2025.