Berdasarkan data terbaru, jumlah kapal kontainer yang berangkat dari China ke Amerika Serikat mengalami penurunan tajam pada Juli 2025. Grafik menunjukkan bahwa baik jumlah kapal (used capacity) maupun total kapasitas (total capacity) turun signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya sepanjang 2024 dan awal 2025. Penurunan ini menyoroti potensi gangguan dalam perdagangan global antara kedua negara. Menurut laporan dari Apollo Chief Economist dan Bloomberg, jumlah kapal yang berangkat dalam 15 hari terakhir mencapai level terendah sejak Mei 2025, dan merupakan salah satu angka terendah dalam dua tahun terakhir. Volume pengiriman bahkan dilaporkan menurun sekitar 40% dalam sebulan terakhir.
Faktor utama di balik penurunan ini tampaknya terkait dengan ketidakpastian tarif perdagangan antara AS dan China. Meskipun ada perpanjangan gencatan senjata tarif selama 90 hari yang diumumkan pada awal Agustus 2025, tarif rata-rata AS terhadap barang-barang China tetap tinggi, mencapai sekitar 55% menurut Bloomberg. Data dari Vizion, seperti dilaporkan oleh FDI Intelligence, menunjukkan bahwa jumlah kontainer yang berangkat dari China ke AS turun hampir setengah, dari 81.448 unit ekivalen dua puluh kaki (TEUs) pada minggu sebelum tarif 145% diberlakukan (minggu 10 April 2025) menjadi 44.807 TEUs pada minggu mulai 28 April 2025. Penurunan ini diperparah oleh "frontloading" oleh importir AS yang menumpuk stok lebih awal untuk menghindari tarif, diikuti oleh pembatalan jadwal kapal (blank sailings) yang meningkat tajam.
Sumber resmi lain mencatat bahwa setelah negosiasi di Jenewa, China mengurangi tarif balasan dari 125% menjadi 10% mulai 14 Mei 2025 untuk periode 90 hari, namun produk dari China, Hong Kong, dan Makau tetap dikenakan tarif resiprokal 10% hingga 10 November 2025, ditambah tarif tambahan 20% berdasarkan IEEPA AS. Ketidakpastian ini, ditambah dengan biaya tambahan seperti biaya lonjakan $0,29 per pon yang diterapkan UPS untuk pengiriman dari China sejak 13 April 2025, semakin mempersulit aliran perdagangan. Selain itu, laporan dari KPMG tentang Indeks Stabilitas Rantai Pasok menyoroti bahwa volatilitas geopolitik dan ketidakpastian tarif terus menjadi pemicu utama gangguan rantai pasok global, termasuk dalam hubungan perdagangan AS-China.
Para analis memperkirakan bahwa penurunan ini bukan hanya refleksi sementara, tetapi juga dapat menjadi tanda pergeseran struktural, di mana perusahaan AS mulai mengalihkan sumber produksi ke dalam negeri atau ke negara lain untuk menghindari tarif. Hal ini dapat berdampak signifikan pada stabilitas rantai pasok global, terutama bagi importir kecil, dan meningkatkan volatilitas harga barang di pasar internasional.