Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif hingga 100% terhadap barang-barang asal China mulai 1 November. Ancaman ini muncul setelah Beijing memberlakukan pembatasan ekspor terhadap logam tanah jarang dan material penting lainnya, memicu kekhawatiran akan kembalinya perang dagang yang sempat mereda tahun lalu.
Para analis memperingatkan bahwa potensi perang dagang baru ini dapat menekan reli panjang pasar saham China yang sudah berlangsung selama lima bulan berturut-turut — periode kenaikan terpanjang sejak 2018. Indeks MSCI China mencatat penguatan tajam sepanjang tahun 2025, dengan Hang Seng Index melonjak 31%, sementara saham Alibaba naik lebih dari 100% dan Tencent hampir 60%. Namun, momentum ini kini terancam oleh ketidakpastian hubungan dagang kedua negara.
Menurut Hao Zhou, Kepala Ekonom Guotai Junan Hong Kong Ltd., pasar China kemungkinan akan “turun lebih dulu sebelum rebound secara hati-hati.” Ia menambahkan, “Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.” Sentimen investor juga dibayangi langkah Kementerian Perdagangan China yang menyebut kebijakan ekspor terbaru sebagai “tindakan defensif yang perlu” dan mendesak AS untuk menghentikan ancaman tarif tambahan.
Hao Hong, Chief Investment Officer Lotus Asset Management, menilai eskalasi ini merupakan bagian dari strategi negosiasi jelang pertemuan antara Trump dan Presiden Xi Jinping di KTT Korea Selatan akhir bulan ini. “Kedua pihak sedang memainkan seluruh kartu mereka menjelang pertemuan. Ini seperti titik puncak sebelum mereka menurunkannya kembali,” ujarnya.
Di sisi lain, nilai yuan terhadap dolar AS melemah tipis, meski tetap stabil setelah sinyal dari Gedung Putih bahwa Washington terbuka untuk kesepakatan baru. Yuan onshore ditutup di level 7,136 per dolar pada Jumat, mencatat penguatan 2% sepanjang tahun. Namun pelemahan berkelanjutan yuan dapat memberi tekanan pada mata uang Asia lainnya yang selama ini bergantung pada stabilitas yuan sebagai jangkar utama.
Sementara itu, saham perusahaan teknologi AS seperti Nvidia juga ikut anjlok hampir 5% akibat ketegangan ini, mengingat perusahaan tersebut berada di tengah tarik-menarik kebijakan ekspor chip dan semikonduktor antara kedua negara. Saham-saham China yang terdaftar di bursa AS bahkan merosot lebih dari 6%, menjadi penurunan harian terbesar sejak April.
Barry Wang, Co-Portfolio Manager dari Oberweis Asset Management, menilai reli pasar China tahun ini telah “berjalan terlalu jauh.” Ia memperkirakan pasar akan “berhenti sejenak agar fundamental dapat mengejar euforia.”
Meski tekanan jangka pendek tampak jelas, sebagian analis tetap optimistis bahwa eskalasi ini hanyalah bagian dari permainan diplomasi jelang negosiasi tingkat tinggi. Trump sendiri menegaskan bahwa ia masih membuka peluang untuk membatalkan kenaikan tarif jika China bersedia melonggarkan pembatasan ekspor material penting tersebut.