


Industri aset kripto di Indonesia memasuki babak baru. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas revisi Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK yang untuk pertama kalinya mengatur aset kripto secara spesifik sebagai bagian dari sektor keuangan nasional di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Draf terbaru memunculkan kekhawatiran luas di kalangan pelaku industri karena sejumlah ketentuan dianggap dapat menggeser peran puluhan Pedagang Aset Keuangan Digital dan memusatkan kegiatan perdagangan pada satu bursa resmi. Struktur baru yang diatur dalam rancangan tersebut memperkenalkan kategori Lembaga Jasa Keuangan Aset Kripto yang meliputi bursa, lembaga kliring, kustodian, pedagang, serta pihak pendukung lain yang disetujui OJK. Seluruh aktivitas kripto wajib berizin dan terlapor.
Pasal 215A ayat 4 menjadi perhatian utama industri karena menyebut bahwa “seluruh aktivitas ITSK terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto, yang dilakukan wallet digital aset kripto, wajib ditransaksikan melalui dan dilaporkan kepada bursa.” Ketentuan ini mengharuskan seluruh transaksi dilakukan melalui bursa resmi atau setidaknya dilaporkan kepada bursa tersebut sehingga praktik perdagangan di luar bursa tidak lagi diperkenankan.
Draf revisi juga menambahkan sanksi pidana bagi operasional tanpa izin maupun pelanggaran kewajiban transaksi melalui bursa dengan ancaman hingga sepuluh tahun penjara dan denda maksimal Rp1 triliun. Pasal 312A menetapkan masa transisi dua tahun hingga bursa resmi dapat menyelenggarakan seluruh perdagangan aset digital. Setelah periode tersebut berakhir, transaksi kripto tidak dapat lagi dilakukan di luar bursa resmi.
CEO Triv Gabriel Rey menilai bahwa pemusatan seluruh transaksi pada satu bursa akan mengubah struktur operasional exchange di Indonesia secara drastis. Ia menyebut dampaknya bisa menyebar luas, bukan hanya ke satu atau dua perusahaan. “Saya yakin terjadi gelombang PHK di semua exchange,” ujarnya.
Rey menjelaskan bahwa akar persoalannya terletak pada hilangnya fungsi PAKD sebagai pengelola sistem perdagangan karena orderbook akan dikendalikan oleh satu bursa. Ia juga menyoroti risiko berkurangnya peluang arbitrase bagi investor serta meningkatnya risiko sistemik dari ketergantungan pada satu entitas. “Kalau ini dihilangkan, maka peluang para investor untuk melakukan arbitrase semakin mengecil,” katanya. “Ini akan menjadi single point of failure… kalau ini satu mati, satu Indonesia semua enggak bisa berdagang kripto.”
Menurut Rey, sentralisasi perdagangan juga berpotensi mendorong pengguna lokal beralih ke platform global yang tidak berada dalam yurisdiksi Indonesia, sehingga dapat mereduksi tujuan pengawasan yang ingin dicapai regulator.