Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan peningkatan tarif dagang sebesar 32% untuk Indonesia sebagai bagian dari kebijakan "Liberation Day" tariff, yang menargetkan 54 negara untuk mengurangi defisit perdagangan AS dan melindungi industri domestik. Kebijakan ini, yang diumumkan melalui pernyataan resmi Gedung Putih, menempatkan Indonesia di peringkat kedelapan dari daftar negara yang terkena tarif tertinggi, menurut data dari situs resmi White House. Angka ini lebih tinggi dari Malaysia sebesar 25% sama seperti Korsel dan Jepang.
Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh ketidakseimbangan tarif dan hambatan non-tarif yang diterapkan Indonesia terhadap ekspor AS. Menurut Fact Sheet Gedung Putih yang diterbitkan pada 2 April 2025 silam, Indonesia membebankan tarif 30% pada produk etanol AS, sementara AS hanya menerapkan tarif 2,5% pada etanol impor dari Indonesia. Selain itu, regulasi lokal seperti persyaratan konten lokal (TKDN), lisensi impor yang kompleks, dan kewajiban repatriasi hasil ekspor sumber daya alam sejak 2025 menjadi alasan utama kebijakan tersebut.
Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia diperkirakan signifikan. AS selama ini menyerap 50,5% ekspor pakaian jadi Indonesia senilai $10,7 miliar, 58,2% furnitur senilai $7,5 miliar, serta $2,39 miliar sepatu dan $4,25 miliar produk pertanian seperti karet, kelapa sawit, dan kopi pada periode 2020-2024. Peningkatan tarif 32% dapat meningkatkan biaya ekspor, menekan permintaan produk Indonesia di AS, dan memengaruhi nilai tukar rupiah serta kepercayaan investor global, sebagaimana dianalisis oleh ARMA Law.
Analis ekonomi memperingatkan bahwa jika ekspor terganggu, dampak berantai dapat meluas ke industri manufaktur domestik dan pasar modal. Namun, ketahanan ekonomi Indonesia selama ketegangan perdagangan sebelumnya memberikan harapan bahwa diplomasi dapat meredakan tekanan. Pengamat pasar akan terus memantau perkembangan negosiasi bilateral ini.