Kelompok negara berkembang BRICS memilih bersikap hati-hati usai ancaman terbaru Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan memberlakukan tarif tambahan 10% terhadap negara-negara yang dianggap mendukung “kebijakan anti-Amerika” ala BRICS. Meskipun dalam pernyataan bersama mereka menyuarakan kritik keras terkait isu perang, perdagangan, dan tata kelola global, para pemimpin BRICS secara sadar menghindari menyebut Amerika Serikat secara eksplisit.
Ancaman Trump yang dilontarkan melalui media sosial ini langsung mengguncang pasar negara berkembang pada Senin pagi waktu Rio de Janeiro, tempat KTT BRICS berlangsung. Mata uang negara berkembang dan indeks saham anjlok, dengan rand Afrika Selatan memimpin pelemahan mata uang utama.
Presiden Brasil Lula da Silva, selaku tuan rumah, menolak memberikan komentar sebelum KTT selesai, sementara penasihat seniornya, Celso Amorim, memilih meredakan situasi dengan menyebut ancaman ini justru menegaskan pentingnya kehadiran BRICS sebagai wadah dialog multilateral. Ia menegaskan BRICS sama sekali tidak mengancam AS dalam deklarasinya.
Beberapa pejabat BRICS lain mengaku tak bisa memprediksi apakah ancaman Trump kali ini serius atau hanya retorika semata, mengingat gaya komunikasinya yang kerap berubah-ubah. Sikap menunggu dan melihat dianggap menjadi pilihan paling aman saat ini. Bahkan Presiden Afrika Selatan memilih meninggalkan KTT lebih awal karena krisis domestik, langkah yang dilihat sebagai upaya menghindari ketegangan lebih lanjut dengan Washington.
BRICS yang mewakili hampir 49% populasi dunia dan 39% PDB global, sepakat mengkritik tarif perdagangan global yang semakin tinggi, pengeluaran militer yang melonjak, serta serangan udara terhadap Iran—anggota BRICS.
Namun, mereka tetap menahan diri untuk tidak menyerang AS secara langsung. Hal ini mencerminkan perbedaan kepentingan di internal BRICS, di mana beberapa anggota seperti India dan Arab Saudi masih menjaga hubungan baik dengan Washington dan tengah bernegosiasi untuk menghindari dampak tarif baru.
Trump sebelumnya juga sempat mengancam akan mengenakan tarif 100% bagi negara BRICS yang beralih dari dolar AS dalam perdagangan bilateral, meskipun isu itu tidak dibahas dalam KTT kali ini. Selain itu, upaya membangun sistem pembayaran lintas negara yang sudah dibahas lebih dari satu dekade pun masih belum menunjukkan kemajuan berarti.
Arab Saudi dan beberapa negara mitra BRICS lainnya seperti Malaysia dan Nigeria menegaskan bahwa partisipasi mereka di BRICS lebih didorong oleh kepentingan perdagangan dan pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar aliansi ideologis. Malaysia secara khusus menyebut bahwa AS tetap menjadi salah satu mitra dagang utamanya.
Meskipun pernyataan BRICS mengkritik arah kebijakan global yang didominasi AS, keengganan mereka untuk secara terang-terangan menantang Trump menunjukkan betapa rumitnya dinamika geopolitik di antara negara-negara berkembang yang kini mencoba mencari keseimbangan di tengah rivalitas global yang makin memanas.