Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba meminta tindakan internasional untuk mencegah Iran mendapatkan senjata nuklir, sebagaimana dilaporkan oleh akun X @spectatorindex. Pernyataan ini menandai pergeseran yang signifikan dalam posisi diplomatik Jepang, sebuah negara yang dikenal karena pengalaman tragis dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki serta sikapnya yang biasanya netral dalam konflik global.
Pernyataan Ishiba ini muncul di tengah ketegangan yang meningkat di Timur Tengah, terutama setelah serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran, seperti yang terjadi pada 13 Juni 2025, yang memicu "perang ambang" baru menurut para ahli keamanan nuklir.
Sebagai negara yang pernah menjadi korban senjata nuklir, Jepang tampaknya ingin memainkan peran lebih aktif dalam mencegah proliferasi senjata pemusnah massal, terutama di kawasan yang sudah labil ini. Pada Januari 2025, Ishiba bahkan bertemu dengan perwakilan Nihon Hidankyo, pemenang Nobel Perdamaian yang mengadvokasi penghapusan nuklir, menunjukkan komitmennya terhadap isu ini.
Pernyataan ini juga memicu spekulasi tentang peran Jepang dalam aliansi global, terutama dengan AS, yang telah lama menekan Iran terkait program nuklirnya. Dari sisi historis, program nuklir Iran dimulai pada era Shah pada 1950-an dengan dukungan AS, tetapi melambat setelah Revolusi Islam 1979.
Kini, dengan sanksi internasional yang membatasi ekonomi Iran, tekanan dari Jepang dapat memperkuat upaya diplomasi atau justru memicu eskalasi lebih lanjut. Dunia kini menanti respons Iran dan sekutunya, sementara peran Jepang dalam dinamika ini menjadi sorotan baru di panggung global.